Siapa
yang tak kenal Sapardi, atau nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Sapardi Djoko
Damono. Dilahirkan di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Bisa dibilang tua,
karena umurnya sudah mencapai 77 tahun, akan tetapi semangat menulisnya tetap
membara dan tak pernah rapuh. Puisi-puisinya sangat terkenal di berbagai
kalangan, karena sebagian besar dari karyanya itu menggunakan bahasa yang
sederhana, sehingga mudah dipahami, ditambah pengandaian yang menarik. Seperti
salah satu puisi beliau yang sangat tenar, yang berjudul “Aku ingin”
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abuAku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Begitulah
sekilas tentang Sapardi, kali ini penulis ingin memaparkan apa saja perbedaan
puisi dan bukan puisi menurut pandangan beliau, lagi-lagi semua orang memiliki
pandangan yang berbeda atau beda kepala ya beda pemikiran.
Jika
kita ditanya apakah itu beneran puisi atau tidak, maka Sapardi mengatakan
bahwasannya puisi itu hanya akal-akalan saja. Misalkan puisi yang berjudul
“pada suatu pagi hari” yang dikutip dari salah satu novelnya yang berjudul
“hujan bulan juni”
“Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa”
Jika
kita membaca puisi diatas dengan nada biasa seperti ketika kita membaca surat
kabar atau cerpen maupun novel, dengan tanpa gaya bahasa dan membaca yang
sedikit dibedakan, maka kita tak akan mendapati kebenaran itu puisi ataupun
tidak. Akan tetapi, jika kita membacanya dengan alur nada puisi, seperti yang
sudah sering kita dengar, maka jadilah puisi.
Maka
kata beliau, semua kata-kata bisa jadi puisi, sekalipun itu di koran, caranya
adalah tinggal kau potong-potong kalimat-kalimat dalam satu berita di dalam
koran dan dijadikannya berbait-bait ke bawah, kemudian kau membacanya
sebagaimana kau membaca puisi.