Selalu
saja, kau pergi menghilang tanpa alasan, berjalan kaki sendirian, mengadukan
perihalmu pada segenap kunang-kunang yang bersinar terang di malam panjang,
yang sinarnya tak terlihat di waktu siang kecuali jika malam datang, ya,
lagi-lagi kau mengeluhkan kekuranganku.
Tatkala
rembulan pulang, sinar mentari dating, kau pun kembali pulang. Di sepanjang
jalan kau ceritakan perihalmu pada bunga-bunga matahari mekar yang menjajar di
sepanjang jalan, yang tak akan menampakkan mekarnya di waktu malam kecuali sang
mentari dating, lagi-lagi itu tentang kekuranganku, sehingga kau pun sampai
pada sungai jernih yang mengaliri air keabadian, yang membawa kehidupan. Sambil
memandang syahdu pada aliran sungai yang lembut tiada tara, kau duduk di ujung
jembatan kecil, di bawah rindangnya pohon gaharu yang dedaunannya rimbun
sehingga membuatmu merasa teduh. Pohon gaharu yang sudah termakan umur, tapi
tetap kokoh, tangguh dan tak rapuh, sebab akarnya teraliri oleh air dari sungai
keabadian.
“andai ia sempurna dan abadi seperti pohon ini” katamu pilu
paada sungai di hadapanmu, diam sejenak dan berpikir, bukankah pohon ini abadi
karena air sungai ini?, diam sejenak dan berpikir, bukankah sungai ini tidak
ada jika gunung tempat sumber air ini tidak ada, dan kau pun mulai mengantuk
dan lelah perihal mencari “kesempurnaan”, kemudian tertidur lelap.
Ah, andai saja kau menyadari, bahwa jika kau mencari kesempurnaan,
yang kan kau temukan hanyalah beribu-beribu kekurangan, dan ketahuilah, aku
selalu memperhatikan kesempurnaanmu.