cerpen
Malam Bersama Wali
Di sebuah desa terpencil, berdiri
sebuah pondok pesantren yang sudah sangat tua, bahkan pesantren ini telah
berdiri semenjak zaman penjajahan Belanda di negeri Nusantara, dan pesantren
ini dikenal masih menjaga tradisi para sesepuh mereka termasuk amalan-amalan
tradisional.
Setiap malam
Jumat, seperti biasa kegiatan para santri adalah membaca tahlil di area
pemakaman mbah yai, disana terdapat sebelas makam para pendiri pondok, yang
paling besar diantaranya adalah pendiri pertama, yaitu Mbah Samsam, adapun nama
panjang beliau adalah Ahmad Samsuri Baidhowi. Setiap tahun diadakan haul akbar
Mbah Samsam di pesantren dan yang menghadirinya pun begitu banyak, bahkan bisa
mencapai ribuan, dan diceritakan banyak orang beliau adalah orang yang faqih
dan zuhud ketika semasa hidupnya, sehingga beliau dikenal sebagai salah satu
wali dari auliya Allah SWT.
Setelah selesai
dari kegiatan tahlil, para santri pun bubar dari makam menuju kamarnya
masing-masing, ada sebagian mereka yang pergi keluar pondok untuk jalan-jalan
keliling desa dan ada yang pergi ke pasar malam, momen ini digunakan untuk
beristirahat dan refreshing, karena hari libur disini haya pada malam Jumat sampai
Jumat sore, selebihnya mereka belajar dan menghafal, karena di pondok ini
kurikulum yang digunakan adalah kurikulum model lama atau model tradisional, dimana sistemnya tidak terlalu ketat, ngaji
dan belajar semaunya, tak hadir pun tak apa-apa, banyak dari mereka yang
memanjangkan rambutnya hingga panjangnya mencapai bahu, dan khasnya, tiap kali
mengaji, selalu saja tak lepas dari rokok dan kopi.
Waktu
menunjukan tengah malam, pondok pun sepi, semenjak pembacaan tahlil selesai
semua santri bubar kecuali salah seorang santri. Sebut saja namanya Lathif, ia
termasuk santri yang rajin dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, bahkan
waktu libur pun tidak ia gunakan tuk bersenang-senang, akan tetapi ia tetap
setia dengan lalaran dan hafalannya. Dengan tenang ia duduk di hadapan makam
Mbah Samsam dan mulai membaca Quran. Biasanya ia membaca Quran dengan merdu dan
fasih, akan tetapi malam itu berbeda, ia membacanya dengan asal tanpa
memperhatikan makhorijul huruf dan panjang pendeknya, padahal dikenal ia sudah
mengetahui ilmunya, ia terus membacanya bahkan makin lama suaranya makin
mengeras, untung saja ketika itu pondok sedang sepi, jadi tidak ada yang sempat
menegurnya, lama kelamaan ia mulai mengantuk dan tanpa menunggu lama ia pun
tertidur di dekat makam Mbah.
**********
Seminggu yang
lalu, para santri di kelas itu fokus memperhatikan pelajaran yang diberikan
oleh ustadz, ketika itu pelajarannya adalah ilmu fiqih dan yang dibahas ketika
itu adalah bab mayit. Menariknya lagi, sang Ustad tidak hanya menerangkan dari
segi fiqih nya saja, beliau pun menerangkannya dengan pendekatan tasawwuf
sehingga para santri tidak cepat bosan untuk mendengarkan materi yang
disampaikan Ustad, bahkan terkadang beliau menyelipkan kisah-kisah bernuansa kesufian
disela-sela menerangkan fiqih. Beliau pun menceritakan kisah nyata orang yang
mati suri di desanya, bahwasannya orang tersebut seperti mengalami hal aneh
yang belum pernah dialami nya semasa hidupnya, tatkala ia dihidupkan kembali
dengan kasih sayang Allah SWT, ia pun menceritakan semuanya kepada keluarganya,
salah satu yang paling menyakitkan baginya adalah ketika mendengar lantunan
ayat yang dibacakan kepadanya tetapi tidak menggunakan makhorijul huruf,
tepatnya asal membaca tanpa memperhatikan tajwidnya. Setelah selesai bercerita,
Ustad pun keluar kelas.
“wahai Lathif…” suara itu menggema tiga kali di area makam
Lathif pun terbangun dengan kaget
dan di hadapannya sudah ada seorang berjubah putih dan bersorban merah yang melingkar
di kepalanya. Lathif mulai mengumpulkan kesadarannya dan mengingat-ingat
siapakah sosok yang ada di hadapannya ini, seperti tidak asing baginya, seperti
pernah melihat potonya di suatu tempat.
“bangunlah
wahai anakku, aku hanya ingin menasihatimu, bacalah al-quran dengan fasih
sesuai dengan kaidah tajwid yang telah kau pelajari dan tak perlu lah engkau
menyengajakan diri seperti itu untuk memanggil para wali dari aulia Allah SWT,
cukuplah engkau teladani mereka dalam menjalani hidupmu”.
Sosok itu pun menghilang, kali ini
Lathif baru sadar bahwa sosok tadi adalah Mbah Samsam yang potonya terpajang di
depan halaman pesantren, panjang dan lebarnya poto itu sekitar sepuluh kali
empat meter persegi panjang. Meskipun tidak dapat bertemu lama, tapi ia tetap
senang dengan pertemuan sekilas itu, nasihat beliau pun selalu diingatnya dan
takkan pernah terlupakan seumur hidupnya.
Post a Comment
0 Comments